Posts

Alur Terjal

Setapak demi setapak Kucoba menapaki Selangkah demi selangkah Kucoba melangkahi Alur yang begitu terjal Penuh bebatuan Juga tikungan tajam Yang harus dilalui Berpegang dengan erat Agar menguat Selalu berhati-hati Agar mengerti Dalam doaku, Dan pintaku, Kumemohon untuk dikokohkan Hingga titik tujuan akhir.

Pertanyaan

Ketika aku sedang berjalan, Kenangan akan dirimu buatku berangan-angan. Kala aku berlari, Bayanganmu sedia menghampiri. Kemudian aku mencoba berhenti sejenak, Namun pikiranku semakin terhenyak, Dan tak bisa tidur nyenyak. Sebenarnya, apa yang sedang terjadi? Mengapa seolah-olah dirimu memegang kendali atas diriku? Sebenarnya, Siapa dirimu? Kau bukan kekasih, Pun mantan kekasih. Aku letih memikirkan berbagai kemungkinannya. Sudikah kamu tuk menjawabnya?

Perjalanan di 2020

2020 is not bad at all. Meskipun, highlight 2020 di pikiran hampir semua orang adalah awal mula pandemi korona. 2020 menjadi awal yang baru bagi banyak orang untuk memulai langkah yang berbeda. Segala hal dicoba, demi bertahan hidup.  2020 menjadi ujian yang berat bagi banyak orang yang terbiasa hidup dalam keramaian. Banyak dari kita yang terbiasa untuk bersosialisasi dengan lingkungan, dan kini harus menguranginya. 2020 menjadi berkah bagi banyak orang yang terbiasa hidup dalam kesendirian. Tak perlu berbasa-basi dan ramah tamah dengan banyak orang yang tak dianggap dekat. Banyak tangis, juga banyak kehilangan. Banyak tawa, juga banyak kebahagiaan. 2020. Tahun penuh ujian, juga penuh berkah. Segala sesuatunya seimbang, hanya persepsi manusia yang suka mengambang. Bertahanlah, Jangan kalah, Jangan menyerah. Sadarilah, bahwa setiap harinya bahkan setiap detiknya, selalu ada hal-hal yang pantas tuk disyukuri. Tersenyumlah,  Mari melangkah, Hingga merekah. 2020 telah usai, 2021 segera di

Yang Hilang

Teruntuk yang terkasih, Yang mulai pudar ditelan masa, Yang menyisakan pedih, Gundah dan nelangsa Engkau masih ada, Aku selalu yakini itu Bukan, bukan harapan fana Tetapi aku tahu, kau memang selalu ada Aku 'kan merasa berdosa Jika percaya kau telah tiada Hanya butuh waktu, Dan kesabaran Tuk temu dan cengkerama Tanpa terbatas Di suatu ruang Yang menjadi milikNya

Tersiksa

Kerap kali aku bertanya-tanya Mengapa egomu begitu melangit Mengapa begitu sulit tuk menjejak Hingga meluruh segala peluh Kau memilih tuk berkeras Inginku meledak-ledak, Menjerit-jerit dan terbirit-birit Melancong ke alam penantian Batinku tersiksa Hidup, bagai tak hidup Bak jiwa yang teriris-iris Raga pun semakin terkikis Menghadapi dirimu yang bengis Lepas, Egomu buatku kebas. Diam, Ucapanmu buatku geram. Enyahlah, Hadirmu buatku lelah.

Pertanda

Beberapa meter sebelum bertemu persimpangan jalan Langkahku mulai goyah Kutarik napas dalam-dalam Membalas lambaian angin malam Mengangguk pada suara jangkrik yang menyapa Tak lama kemudian Diriku dilemparkan ke dunia paralel Dalam posisi duduk di depan sebuah televisi tua Yang menyisipkan satu alur cerita Yang telah dirunutkan dari hulu ke hilir Kau ada di sana sebagai pemeran utamanya Tampak berbagai kegelisahan melucutimu Memicu rasa frustasi pada dirimu Mencuri segala sinar bahagiamu Lambat laun, bayangan diriku mulai mengikutimu Namun, tak jua kau terlepas dari belenggumu Kau malah semakin terkurung dalam murung Kau mencoba berhitung, tapi tetap menggantung Inikah pertanda bagiku? Inikah akhir dari pencarianku? Inikah jawaban untukku? Intuisiku semakin kuat Kau bukanlah rumah yang tepat

Mencari Tanda

Di bawah temaram lampu kota Aku mengikuti arah pandangnya Menatap langit di atas sana Merintih tuk bertanya-tanya Apa yang sedang dicarinya? Sadarkah ia bahwa aku bersamanya? Menjejak tanah yang sama Duduk di bangku taman persis di sebelahnya Lama sekali ia mendongak Aku tak cukup kuat bertahan selama dirinya Apa sebenarnya yang sedang menggerayangi mesin kepalanya? Sorot tajam matanya Perlahan-lahan tertutup Kemudian terbuka kembali Dengan tatapan polos anak-anak Merengek minta pulang padaku Lekas berwujud menjadi seorang mama Menggiring pulang anaknya Saling menggenggam tangan Diselingi nyanyian bahagia Nyatanya,  Tiada mata yang menatapku Apalagi tangan yang menggenggamku Perlahan, ia berdiri sambil berkata "Pulang? Sudah malam." Baiklah, mari pulang Meski diselimuti ragu akan arahnya Pasti 'kan kutemukan tandanya bukan? Hanya butuh satu jawaban Benarkah kau adalah rumah?